Kamis, 02 Juni 2011

MANAJEMEN MUTU PADA PERGURUAN TINGGI

PENDAHULUAN


Di negara-negara yang relatif mapan di mana pengaruh globalisasi sangat kuat, institusi pendidikan tinggi sudah berubah menjadi lembaga internasional. Dalam kontek seperti itu, di mana selain adanya standar bagi penyelenggaraan international education, dalam rangka perbaikan mutu, manajemen mutu sangat berorientasi pada konsumen baik di pasar lokal maupun dunia yang terdesentralisir dan sangat kompetitif. Sehubungan dengan pendekatan strategi tentang mutu, universitas menjadi lebih serius menangani hal-hal yang berhubungan dengan pengukuran unjuk kerja dan market share serta isu value for money. Perbaikan mutu yang berorientasi pada konsumen sangat penting demi kelangsungan universitas tersebut dalam kondisi yang dinamis. Selain itu, kebijakan mengenai strategi manajemen mutu dari suatu universitas dapat merupakan cermin bagi pihak luar terutama mahasiswa dan calon mahasiswa bahwa mutu pendidikan merupakan prioritas utama dari universitas.


LANDASAN KEBIJAKAN MANAJEMEN MUTU PENDIDIKAN

Rujukan yang digunakan adalah:

1. Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Tinggi Nasional

2. Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

3. Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi oleh Badan Akreditasi Nasional, 2008.

4. Akreditasi Program Studi Sarjana, Magister dan Doktor oleh Badan Akreditasi Nasional, 2009.

5. Persyaratan SMM ISO 9001:2008.

6. Persyaratan SMM untuk layanan pendidikan IWA2:2007

7. Standar mutu world class university (WCU QS Asia)


MUTU PENDIDIKAN PADA PERGURUAN TINGGI


Menurut Harvey dan Green (1993 dalam Porter, 1994) mutu diartikan sebagai a relative concept which changed with the context and mean different things to different people. Hal ini karena pada kenyataannya orang yang sama mungkin akan menerapkan konsep yang berbeda pada saat yang lain. Secara teoritis, ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami arti mutu. Pertama, mutu mencerminkan suatu karakteristik yang dimiliki. Dalam sudut pandang ini, sesuatu yang bermutu dipandang sebagai sesuatu yang excellence/ valuable dan mutu sama sekali tidak mempunyai apa yang disebut evaluatif sense (Margetson, 1994).

Pada pendekatan kedua yang disebut pendekatan metafisik (metaphysical belief), mutu dipandang sebagai sesuatu yang tidak hanya bisa dianalisis secara deskriptif tapi juga dianalisis secara evaluatif atau sesuatu yang bisa diukur. Hal ini karena, dalam memandang mutu bisa dibedakan secara absolut antara fakta-fakta yang dikaitkan dengan analisis secara deskriptif dan nilai-nilai yang dikaitkan dengan analisis secara evaluatif. Lebih lanjut, perbedaan antara evaluative and descriptive senses dari mutu diperkuat oleh adanya fenomena yang continues dan descrete.

Dalam kaitannya dengan QA, tampak bahwa mutu di perguruan tinggi dipandang dengan pendekatan metafisik. Adapun alasan utamanya, yaitu bahwa jika mutu didekati dengan pendekatan deskriptif semata dengan alasan untuk menghindari -value judgment- yang sifatnya subjektif dan individual, adalah sangat absurd. Hal ini disebabkan karena mutu sangat berkaitan erat dengan nilai itu sendiri.

Lebih lanjut, setelah kita tahu bahwa mutu bisa didekati dengan pendekatan metafisik, untuk mengukurnya, perlu dibuat terlebih dahalu persamaan persepsi tentang apa yang dimaksud dengan mutu di dalam sistim pendidikan tinggi. Pertama, kita bisa melihat mutu sebagai mutu dari pengadaan pendidikan atau mutu pendidikan itu sendiri. Burge dan Tannock dalam Rowley (1995), mengartikan mutu pendidikan sebagai the success with which an institution provides educational environments which enable students effectively to achieve worthwhile learning goals including appropriate academic standards.

Lebih lanjut, the Higher Educational Council (HEC) Australia melihat mutu dalam konteks sebagai berikut: the council sees the focus on outcome, the fitness for purpose, as fundamental to understanding how each of the processes within institutions are organized and evaluated in order to ensure the quality of outcome (Linke, 1992). Sama seperti Burge dan Tannock, disini prinsip utama adalah bahwa mutu di universitas diukur dengan pendekatan fitness for purpose.

Melihat kedua definisi tersebut perlu dikaji arti dari tujuan, yaitu tujuan siapa, apakah tujuan tersebut sudah tepat dan bagaimana menilai pencapaian tujuan tersebut. Pada umumnya tujuan perguruan tinggi meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian atau yang dikenal sebagai tridarma perguruan tinggi. Sehubungan dengan hal ini, Porter (1994) mengindikasikan akan adanya kesulitan dalam mengukur mutu perguruan tinggi hanya dengan menggunakan pendekatan fitness for purpose. Porter (1994) menambahkan pendekatan lain yang sifatnya interrelated dengan pendekatan fitness for purpose, yaitu konsep exceptional dimana mutu dapat dipandang sebagai passing a set of requirement or minimum standard.

Dalam konteks pendidikan internasional, Global Alliance for Transnational Education (GATE) mendefinisikan mutu sebagai as meeting or fulfilling requirements, often referred to as fitness for purpose (GATE, 1998). Dan dalam hubungannya dengan pendekatan pemenuhan standar minimum, standar diartikan sebagai a level or grade of goodness of something, and in an education context may be defined as an explicit level of academic attainment. Jelaslah, bahwa fungsi standar antara lain as a means of measurements of the criteria by which quality may be judged (GATE, 1998).

Dapat disimpulkan bahwa mutu perguruan tinggi diartikan sebagai pencapaian tujuan dari suatu universitas yang umumnya mencakup tri darma perguruan tinggi dan pengukurannya dilakukan dengan pendekatan exceptional dimana menurut Porter (1994) memiliki tiga variasi, yaitu 1) mutu sebagai sesuatu yang distinctive, 2) mutu sebagai sesuatu yang excellence, dan 3) mutu sebagai sesuatu yang memenuhi batas standar minimum atau conformance to standard.

Dikaitkan dengan sistim pendidikan tinggi di Indonesia, dalam PP No 30 tahun 1990, dijelaskan bahwa senat universitas dan fakultas bertanggungjawab untuk melakukan reviu dari pelaksanaan kegiatan fungsi universitas. Selain itu, dekan dan ketua jurusan/departemen bertanggungjawab langsung terhadap pelaksanaan pengajaran, pembelajaran, penelitian dalam fakultas dan departemen.

Dalam sistim perencanaan program dan anggaran, maka tiap unit menyusun laporan tahunan yang diserahkan ke Dirjen Dikti yang selanjutnya dijadikan bahan masukan bagi Dirjen Dikti untuk mengadakan evaluasi pelaksanaan program-program pembangunan tahunan. Laporan Hasil Evaluasi Dirjen Dikti (Dirjen Dikti, 2000) selanjutnya menyebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan mutu akan ditempuh format manajemen baru. Dimana, dalam format manajemen yang baru, peningkatan mutu secara berkelanjutan dengan memasukkan azas otonomi sebagai daya gerak untuk membuat sistem lebih dinamis, akuntabilitas atau tanggung jawab agar otonomi terselenggara secara bertanggung jawab, akreditasi untuk menjamin mutu lulusan dan evaluasi diri agar proses pengambilan keputusan dalam perencanaan didasarkan atas data dan informasi.